Tuesday, November 27, 2007

Serat Wedhatama

Secara semantik, Serat Wedhatama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: serat, wedha dan tama. Serat berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, wedha artinya pengetahuan atau ajaran, dan tama berasal dari kata utama yang artinya baik, tinggi atau luhur. Dengan demikian maka Serat Wedhatama memiliki pengertian: sebuah karya yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran dalam mencapai keutamaan dan keluhuran hidup dan kehidupan umat manusia. Serat Wedhatama yang memuat filsafat Jawa ini ditulis oleh Kangjeng Gusti Pangeran Arya (KGPA) Mangkunegara IV yang terlahir dengan nama Raden Mas Sudira pada hari Senin Paing, tanggal 8 Sapar, tahun Jimakir, windu Sancaya, tahun Jawa 1738, atau tahun Masehi 3 Maret 1811.

Suluk Wijil - Sunan Bonang

1. Inilah ceritera si Wujil Berkata pada guru yang diabdinya Ratu Wahdat Ratu Wahdat nama gurunya Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung Yang tinggal di desa Bonang Ia minta maaf Ingin tahu hakikat Dan seluk beluk ajaran agama sampai rahasia terdalam

2. Sepuluh tahun lamanya Sudah Wujil Berguru kepada Sang Wali Namun belum mendapat ajaran utama Ia berasal dari Majapahit Bekerja sebagai abdi raja. Sastra Arab telah ia pelajari Ia menyembah di depan gurunya Kemudian berkata Seraya menghormat Minta maaf

3. “Dengan tulus saya mohon Di telapak kaki tuan Guru Mati hidup hamba serahkan Sastra Arab telah tuan ajarkan Dan saya telah menguasainya Namun tetap saja saya bingung Mengembara kesana-kemari Tak berketentuan. Dulu hamba berlakon sebagai pelawak Bosan sudah saya Menjadi bahan tertawaan orang

4. Ya Syekh al-Mukaram! Uraian kesatuan huruf Dulu dan sekarang Yang saya pelajari tidak berbeda Tidak beranjak dari tatanan lahir Tetap saja tentang bentuk luarnya Saya meninggalkan Majapahit Meninggalkan semua yang dicintai Namun tak menemukan sesuatu apa Sebagai penawar

5. Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna Semua pendeta dan ulama hamba temui Agar terjumpa hakikat hidup Akhir kuasa sejati Ujung utara selatan Tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan hakikat maut Akhir ada dan tiada

6. Ratu Wahdat tersenyum lembut “Hai Wujil sungguh lancang kau Tuturmu tak lazim Berani menagih imbalan tiggi Demi pengabdianmu padaku Tak patut aku disebut Sang Arif Andai hanya uang yang diharapkan Dari jerih payah mengajarkan ilmu Jika itu yang kulakukan Tak perlu aku menjalankan tirakat

7. Siapa mengharap imbalan uang Demi ilmu yang ditulisnya Ia hanya memuaskan diri sendiri Dan berpura-pura tahu segala hal Seperti bangau di sungai Diam, bermenung tanpa gerak. Pandangnya tajam, pura-pura suci Di hadapan mangsanya ikan-ikan Ibarat telur, dari luar kelihatan putih Namuni isinya berwarna kuning

8. Matahari terbenam, malam tiba Wujil menumpuk potongan kayu Membuat perapian, memanaskan Tempat pesujudan Sang Zahid Di tepi pantai sunyi di Bonang Desa itu gersang Bahan makanan tak banyak Hanya gelombang laut Memukul batu karang Dan menakutkan

9. Sang Arif berkata lembut “Hai Wujil, kemarilah!” Dipegangnya kucir rambut Wujil Seraya dielus-elus Tanda kasihsayangnya “Wujil, dengar sekarang Jika kau harus masuk neraka Karena kata-kataku Aku yang akan menggantikan tempatmu”…

11. “Ingatlah Wujil, waspadalah! Hidup di dunia ini Jangan ceroboh dan gegabah Sadarilah dirimu Bukan yang Haqq Dan Yang Haqq bukan dirimu Orang yang mengenal dirinya Akan mengenal Tuhan Asal usul semua kejadian Inilah jalan makrifat sejati”

12. Kebajikan utama (seorang Muslim)Ialah mengetahui hakikat salat Hakikat memuja dan memuji Salat yang sebenarnya Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib Tetapi juga ketika tafakur Dan salat tahajud dalam keheningan Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa Dan termasuk akhlaq mulia

13. Apakah salat yang sebenar-benar salat? Renungkan ini: Jangan lakukan salat Andai tiada tahu siapa dipuja Bilamana kaulakukan juga Kau seperti memanah burung Tanpa melepas anak panah dari busurnya Jika kaulakukan sia-sia Karena yang dipuja wujud khayalmu semata

14. Lalu apa pula zikir yang sebenarnya? Dengar: Walau siang malam berzikir Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan Zikirmu tidak sempurna Zikir sejati tahu bagaimana Datang dan perginya nafas Di situlah Yang Ada, memperlihatkan Hayat melalui yang empat

15. Yang empat ialah tanah atau bumi Lalu api, udara dan air Ketika Allah mencipta Adam Ke dalamnya dilengkapi Anasir ruhani yang empat:Kahar, jalal, jamal dan kamal Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya Begitulah kaitan ruh dan badan Dapat dikenal bagaimana Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana

16. Anasir tanah melahirkan Kedewasaan dan keremajaan Apa dan di mana kedewasaanDan keremajaan? Dimana letak Kedewasaan dalam keremajaan? Api melahirkan kekuatan Juga kelemahan Namun di mana letak Kekuatan dalam kelemahan? Ketahuilah ini

17. Sifat udara meliputi ada dan tiada Di dalam tiada, di mana letak ada? Di dalam ada, di mana tempat tiada? Air dua sifatnya: mati dan hidup Di mana letak mati dalam hidup?Dan letak hidup dalam mati? Kemana hidup pergi Ketika mati datang?Jika kau tidak mengetahuinya Kau akan sesat jalan

18. Pedoman hidup sejati Ialah mengenal hakikat diri Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk Oleh karena itu ketahuilah Tempat datangnya yang menyembah Dan Yang Disembah Pribadi besar mencari hakikat diri Dengan tujuan ingin mengetahui Makna sejati hidup Dan arti keberadaannya di dunia

19. Kenalilah hidup sebenar-benar hidup Tubuh kita sangkar tertutup Ketahuilah burung yang ada di dalamnya Jika kau tidak mengenalnya Akan malang jadinya kau Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil Sia-sia semata Jika kau tak mengenalnya. Karena itu sucikan dirimu Tinggalah dalam kesunyian Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia

20. Keindahan, jangan di tempat jauh dicari Ia ada dalam dirimu sendiri Seluruh isi jagat ada di sana Agar dunia ini terang bagi pandangmu Jadikan sepenuh dirimu Cinta Tumpukan pikiran, heningkan cipta Jangan bercerai siang malam Yang kaulihat di sekelilingmu Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!

21. Dunia ini Wujil, luluh lantak Disebabkan oleh keinginanmu Kini, ketahui yang tidak mudah rusak Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi Bentangan pengetahuan ini luas Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya Orang yang mengenal hakikat Dapat memuja dengan benar Selain yang mendapat petunjuk ilahi Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini

22. Karena itu, Wujil, kenali dirimu Kenali dirimu yang sejati Ingkari benda Agar nafsumu tidur terlena Dia yang mengenal diri Nafsunya akan terkendali Dan terlindung dari jalan Sesat dan kebingungan Kenal diri, tahu kelemahan diri Selalu awas terhadap tindak tanduknya

23. Bila kau mengenal dirimu Kau akan mengenal Tuhanmu Orang yang mengenal Tuhan Bicara tidak sembarangan Ada yang menempuh jalan panjang Dan penuh kesukaran Sebelum akhirnya menemukan dirinya Dia tak pernah membiarkan dirinya Sesat di jalan kesalahan Jalan yang ditempuhnya benar

24. Wujud Tuhan itu nyata Mahasuci, lihat dalam keheningan Ia yang mengaku tahu jalan Sering tindakannya menyimpang Syariat agama tidak dijalankan Kesalehan dicampakkan ke samping Padahal orang yang mengenal Tuhan Dapat mengendalikan hawa nafsu Siang malam penglihatannya terang Tidak disesatkan oleh khayalan

25. Diam dalam tafakur, Wujil Adalah jalan utama (mengenal Tuhan) Memuja tanpa selang waktu Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya) Disebabkan oleh makrifat Tubuhnya akan bersih dari noda Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini Dari orang arif yang tahu Agar kau mencapai hakikat Yang merupakan sumber hayat

26. Wujil, jangan memuja Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja Juga sia-sia orang memuja Tanpa kehadiran Yang Dipuja Walau Tuhan tidak di depan kita Pandanglah adamu Sebagai isyarat ada-Nya Inilah makna diam dalam tafakur Asal mula segala kejadian menjadi nyata

27. Renungi pula, Wujil! Hakikat sejati kemauan Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita Berpikir dan menyebut suatu perkara Bukan kemauan murni Kemauan itu sukar dipahami Seperti halnya memuja Tuhan Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak Pun tidak membuatmu membenci orang Yang dihukum dan dizalimi Serta orang yang berselisih paham

28. Orang berilmu Beribadah tanpa kenal waktu Seluruh gerak hidupnya Ialah beribadah Diamnya, bicaranya Dan tindak tanduknya Malahan getaran bulu roma tubuhnya Seluruh anggota badannya Digerakkan untuk beribadah Inilah kemauan murni

29. Kemauan itu, Wujil! Lebih penting dari pikiran Untuk diungkapkan dalam kata Dan suara sangatlah sukar Kemauan bertindak Merupakan ungkapan pikiran Niat melakukan perbuatan Adalah ungkapan perbuatan Melakukan shalat atau berbuat kejahatan Keduanya buah dari kemauan

Suluk

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata suluk berarti:
[1] suluk n jalan ke arah kesempurnaan batin; tasawuf; tarekat; mistik:ilmu--,
[2] suluk Jw nyanyian (tembang) dalang yang dilakukan ketika akan memulai suatu adegan (babak) dalam pertunjukan wayang.

Definisi Suluk dalam Islam
Suluk secara harfian berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.

Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur'an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik.

Thursday, November 8, 2007

Riwayat Singkat Pandawa

Masa kanak-kanak
Pandawa lima yang terdiri atas Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa, memiliki saudara yang bernama Duryodana dan 99 adiknya yang merupakan anak dari Dretarastra yang tak lain adalah paman mereka, sekaligus Raja Hastinapura. Sewaktu kecil mereka suka bermain bersama, tetapi Bima suka mengganggu sepupunya. Lambat laun Duryodana merasa jengkel karena menjadi korban dan gangguan dari ejekan Bima. Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan para Pandawa beserta ibunya.

Usaha pertama untuk menyingkirkan Pandawa
Dretarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh para Pandawa beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Waranawata. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat Pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba. Di hutan rimba, Pandawa bertemu dengan raksasa Hidimba, dan adiknya Hidimbi. Hidimba dibunuh oleh Bima, lalu Hidimbi dinikahi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca. Setelah beberapa lama, Hidimbi dan Gatotkaca berpisah dengan para Pandawa sebab para pangeran tersebut harus melanjutkan perjalanannya.

Perselisihan antar keluarga
Pamannya (Dretarastra) yang mengetahui bahwa Pandawa lima ternyata belum mati pun mengundang mereka untuk kembali ke Hastinapura dan memberikan hadiah berupa tanah dari sebagian kerajaannya, yang akhirnya Pandawa lima membangun kota dari sebagian tanah yang diberikan pamannya itu hingga menjadi megah dan makmur yang diberi nama Indraprastha. Duryodana yang pernah datang ke Indraprastha iri melihat bangunan yang begitu indah, megah dan artistik itu. Setelah pulang ke Hastinapura ia langsung memanggil arsitek terkemuka untuk membangun pendapa yang tidak kalah indahnya dari pendapa di Indraprastha. Bersamaan dengan pembangunan pendapa di Hastinapura ia pun merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Yudistira dan adik adiknya. Yang pada akhirnya Yudistra pun terjebak dalam rencananya Duryodana dan harus menjalani pengasingan selama 14 Tahun, di dalam pengasingan itu Yudistira pun menyusun rencana untuk membalas dendam atas penghinaan yang telah dilakukan Duryodana dan adik adiknya, yang akhirnya memicu terjadinya perang besar antara Pandawa dan Korawa serta sekutu-sekutunya.

Perang di Kurukshetra
Pertempuran besar di Kurukshetra (atau lebih dikenal dengan istilah Bharatayuddha di Indonesia) merupakan pertempuran sengit yang berlangsung selama delapan belas hari. Pihak Pandawa maupun pihak Korawa sama-sama memiliki ksatria-ksatria besar dan angkatan perang yang kuat. Pasukan kedua belah pihak hampir gugur semuanya, dan kemenangan berada di pihak Pandawa karena mereka berhasil bertahan hidup dari pertempuran sengit tersebut. Seratus Korawa gugur di tangan mereka, kecuali Yuyutsu, satu-satunya Korawa yang memihak Pandawa sesaat sebelum pertempuran berlangsung.

Akhir riwayat
Setelah Kresna wafat, Byasa menyarankan para Pandawa agar meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup sebagai pertapa. Sebelum meninggalkan kerajaan, Yudistira menyerahkan tahta kepada Parikesit, cucu Arjuna. Para Pandawa beserta Dropadi melakukan perjalanan terakhir mereka di Gunung Himalaya. Sebelum sampai di puncak, satu persatu dari mereka meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih bertahan hidup dan didampingi oleh seekor anjing yang setia. Sesampainya di puncak, Yudistira dijemput oleh Dewa Indra yang menaiki kereta kencana. Yudistira menolak untuk mencapai surga jika harus meninggalkan anjingnya. Karena sikap tulus yang ditunjukkan oleh Yudistira, anjing tersebut menampakkan wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Dewa Dharma berkata bahwa Yudistira telah melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang dan ia berhak berada di surga.

Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena ia tidak menyaksikan saudara-saudaranya, sebaliknya ia melihat Duryodana beserta sekutunya yang jahat menikmati kesenangan di surga. Dewa Indra berkata bahwa saudara-saudara Yudistira berada di neraka. Mendengar hal itu, Yudistira lebih memilih tinggal di neraka bersama saudara-saudaranya yang saleh daripada tinggal di surga bersama saudara-saudaranya yang jahat. Pada saat itu, pemandangan tiba-tiba berubah. Dewa Indra pun berkata bahwa hal tersebut merupakan salah satu ujian yang diberikan kepadanya, dan sebenarnya saudara Yudistira telah berada di surga. Yudistira pun mendapatkan surga.

(Sumber : Wikipedia)

Pandawa

Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sansekerta, yang secara harafiah berarti anak Pandu, yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putera mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harafiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.

Para Pandawa merupakan tokoh penting dalam bagian penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran besar di daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan para Korawa serta sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut menjadi kisah penting dalam wiracarita Mahabharata, selain kisah Pandawa dan Korawa main dadu.

Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putera kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putera kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.

Menurut tradisi Hindu, kelima putra Pandu tersebut merupakan penitisan tidak secara langsung dari masing-masing Dewa. Hal tersebut diterangkan sebagai berikut:

* Yudistira penitisan dari Dewa Yamaraja, Dewa keadilan dan kebijaksanaan;
* Bima penitisan dari Dewa Bayu, penguasa angin;
* Arjuna penitisan dari Dewa Indra, penguasa Surga;
* Nakula dan Sadewa penitisan dari Dewa kembar Aswin, Dewa pengobatan.

(Sumber : Wikipedia)

Dewin Gendari profil istri yang ikut membutakan suaminya

Prabu Suwala adalah seorang Raja di Negeri Gendara. Ia sedang prihatin, karena anak gadis tunggalnya (Dewi Gendari) akan dikawinkan dengan Destarastra, putra Raja negeri Astina, yang notabene buta sejak lahir. Semula ia menolak, namun apa mau dikata, "jodoh, pati dan mulia" bukan urusan manusia. Lalu siapakah yang menentukan? Semuanya ditentukan oleh takdir. Ada pepatah: Asam di gunung, garam di lautan bertemu di belanga. Maka tak ada pilihan lain bagi Gendari kecuali menuruti kehendak ayahnya. Dan sebagai rasa solider, maka ia menutup kedua belah matanya dengan kain hitam sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi melihat terangnya matahari. "Apa tumon?" Wah, memang hebat wanita jaman wayang...

Pertanyaannya sekarang ialah : Apakah ia melambangkan seorang istri yang setia atau lambang seorang istri yang ikut "membuta" dengan kebutaan suami. Silakan mengikuti dulu ceritanya. Pendek kata di Astina diselenggarakan pesta perkawinan Destarastra. Beberapa bulan kemudian, Dewi Gendari kelihatan sering muntah-muntah, dan selalu minta disediakan buah-buahan yang serba masam rasanya. Boleh dikatakan, bahwa hampir tiap hari ia makan rujak. Dia selalu merasakan serba salah dan marah melulu. Para dayangnya selalu menjadi korban dampratannya.

Dasar anak Raja dan mantu Raja, manjanya gak ketulungan. Setelah tiba saatnya hendak melahirkan, gegerlah para pini sepuh Astina, karena tiba-tiba hujan turun sangat lebatnya dengan diiringi geledek yang menyambar-nyambar, sedang gajah-gajah & anjing hutan mengeluarkan suara-suara lolongan yang mengerikan sepanjang malam.

Pendek kata malam itu sangat menyeramkan membuat bulu kuduk berdiri. Apalagi dibarengi dengan suara burung hantu sepanjang malam.

Memang benar ketika sang bayi lahir, bukannya ia menangis tapi malahan mengaum, laksana serigala di tengah hutan. Suara tersebut benar-benar menakutkan. laksana lahar dingin Gunung Semeru di bawah air. Orang panik dan penghuni seluruh kita lari tunggang-langgang mencari selamat. Mereka mengira ada banjir bandang yang melanda di negeri Astina.

Sedang Destarastra yang tidak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, segera merangkul Yamawidura sambil berkata :
"Oh adinda Yamawidura, pertanda apakah kelahiran jabang bayi yang dibarengi dengan suara-suara yang menyeramkan ini?"
"Duh kakanda, jawab Yamawidura. Suara yang mengerikan ini tidak lain adalah suatu pertanda, bahwa jaman edan sudah datang. Oleh karena itu seyogianya segumpal daging ini dihanyutkan saja ke sungai. Sebab daging inilah yang kelak akan membawa bencana besar."

Anjuran Yamawidura ditolak mentah-mentah oleh Dewi Gendari dan Destarastra, bahkan ia berkata :
"jangan, biarlah ia terus hidup, malahan itulah yang kuharapkan besok dapat menjadi manusia yang mampu naik tahta di kerajaan Astina".

Bayi yang semula berupa gumpalan daging bercampur darah tersebut, kemudian menjadi dua potong. Sepotong daging berubah menjadi bayi yang rupawan bernama Duryudana, sedangkan sepotong daging lainnya pecah menjadi 99 bagian.

Demikian kisah terjadinya Kurawa yang lahir dari rahim Dewi gendari.

Wednesday, November 7, 2007

Apakah bedanya Ilmu dan Ngelmu itu?

"Ngelmu" tidak dapat begitu saja diterjemahkan dengan "ilmu". karena ngelmu mengandung sesuatu arti "ajaran rahasia (esoteris)" untuk pegangan hidup (agama ageming aji/hurip). Ngelmu dicapai dengan laku "yaitu laku batin" atau jalan rohani. jalan rohani dalam bahasa tasawuf disebut tarekat atau oleh Lao-tse disebut tao. Adapun ikhtiar dan segala usaha dengan menempuh perjalanan batin tersebut disebut "suluk". Sedangkan suluk adalah tasawuf di Nusantara/jawa atau lebih tepatnya kita sebut mistisisme Jawa.

Karena itu apa yang disebut ngelmu adalah pengetahuan yang bersifat batiniah atau rohaniah. Dalam bahasa tasawuf, ngelmu batiniah disebut juga dengan istilah ma'rifat. Hamka menulis bahwa : "Ma'rifat artinya ujung perjalanan dari ilmu pengetahuan".

Karena itu tepat sekali apa yang ditulis dalam Wedatama. Yang mengatakan "pucunging mring makrifat" (Sinom 18). Ngelum iku, kalakone kanthi laku (Pucung 1). jadi yang dimaksudkan dengan ngelmu dalam pupuh pucung bait 1 tersebut, tidak dapat lain kecuali dalam kontak dan arti "pucung atau ujung pengetahuan yaitu makrifat" atau ngelmu sejati (the real knowledge of God) atau esoterisme. Sedangkan yang dimaksud dengan kata laku adalah batiniah, atau dapat juga disebut tarekat atau suluk atau spiritual path atau spiritual journey. Orang yang berusaha mencari ngelmu dengan melalui suluk disebut salik atau mistikus. Adapun sarana untuk mencapai tujuan suluk lebih banyak menggunakan rasa daripada rasio. Dan orang yang ahli ngelmu suluk atau ahli tasawuf disebut sufi atau mistikus.

Para sufi membedakan tiga macam organ komunikasi rohani, yaitu hati (qalb) yang digunakan untuk mengenal Tuhan; jiwa (ruh) yang dipergunakan untuk mencintai-Nya. Dan yang paling dalam dalah rasa (sirr) yang berkontemplasi untuk "melihat Tuhan". Pembahasan mengenai saling hubungannya ketiga istilah itu akan menarik dan menghanyutkan kita. Adapun qalbu, walaupun berkaitan dengan hati fisik, namun bukan daging dan bukan pula darah. Dalam pengertian Barat "hati" lebih bersifat intelektual daripada emosional. Dengan intelek atau akal, manusia tidak dapat memahami benar akan Tuhan, dan hakekat segala sesuatu. baru terlatih dan diterangi oleh iman pengetahuan dan diridhoi oleh-Nya maka akan tercerminlah seluruh "Jiwa Ilahi".

Jadi orang yang berusaha mencapai ngelmu makrifat atau kasampurnan lebih banyak menggunakan rasa daripada rasio. Sedangkan orang yang ingin mencapai ilmu pengetahuan lebih banyak menggunakan rasio; bahkan rasa sama sekali ditinggalkan. Pendek kata harus ilmiah.

Ilmu sejati ada juga yang menyatakan sebagai esoterisme. kejawen atau filsafat Jawa. Ngelmu sejati atau makrifat menurut Al Ghazali bukan didapat semata-mata dengan akal. Ilmu yang sejati atau makrifat yang sebenalnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal lebih daripada sekedar mengerti. Orang Jawa menamakan ngelmu tersebut dengan nama sastrajendra yang terdiri dari kata: sastra = knowledge, jane = real, narendra = God. Jadi sastrajendra berarti The Real Knowledge of God.

Adapun ciri-ciri "ngelmu, esoterisme, mistisisme atau filsafat Jawa adalah :
1. Filsafat Nusantara pada umumnya dan filsafat Jawa pada khususnya atau ngelmu itu bukan merupakan aktivitas otak, melainkan kehidupan rohani dalam usahanya mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang "arti kehidupan" atau tentang "hakekat segala sesuatu yang ada dan mungkin ada" yaitu:
a. mencari keterangan tentang asal mula pertama dan tujuan akhir kehidupan manusia (sangkan praning dumadi)
b. mengenal Tuhan
c. Hubungan antara manusia, Tuhan dan Dunia.

2. Filsafat Jawa meupakan sarana untuk mempertinggi tingkat rohani, agar dapat meraih nilai-nilai "super moral"(kautaman), dan meraih sesuatu yang ada dibalik dunia yang tampak, sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan (nggayuh kasampuran)

3. Filsafat Jawa merupakan saran dan jalan rohani (laku bangsaning batin) menuju kelepasan. Bahkan merupakan satu-satunya "jalan" untuk dapat mencapai tujuan akhir hidupnya, yaitu dapat berada dekat di hadirat Ilahi dan bersatu dengan yang Ilahi (celak coloking Hyang Widhi, momor pamoring Sawujud)

4. Filsafat Jawa berbentu ungkapan-ungkapan renungan-renungan filsafati. bersifat pendek, sepotong-sepotong berbentuk kiasan,lambang, hubungan satu dengan yang lain sering kurang serasi dan belum dihimpun menjadi satu sistem yang bulat dan utuh.

5. Renungan-renungan filsafati tersebut di atas terdapat dalam bentuk suluk. uraian tersebut di atas apabila dirumuskan dengan kata yang pendek berarti bahwa : "Filsafat Jawa atau ngelmu adalah ajaran-ajaran tentang perjalanan rohani menuju Tuhan untuk mencapai kesempurnaan dan dapat manunggal.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tampak nyata sekali adanya perbedaan yang sangat menyolok antara ilmu dan ngelmu.

Perbedaan tersebut terutama terletak pada sarana untuk mencari kebenaran dan tujuan akhirnya. kalau menuntut ilmu atau berfilsafat selalu harus menggunakan akal budi atau rasio sebagai kegiatan ilmiah. Sedangkan nggayuh ngelmu menggunakan "rasa atau jalan rohani" dalam mencapai kesempurnaan, mengenal dan bersatu dengan Tuhan sebagai tujuan akhirnya.

Konflik-konflik Abadi Pada Jiwa Mencari Penyelesaian dalam Arus Kebajikan

Wayang dalam bentuk aslinya adalah pertunjukan bayang-bayang yang merupakan hasil kreasi bangsa Indonesia di Jawa. Sedang timbulnya, jauh sebelum kebudayaan hindu datang. Pada jaman Neolitikum pertunjukan bayang-bayang semula merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan yang dikerjakan pada waktu malam hari untuk memuja Hyang. Sebagai lakon, diambil dari mitologi kuno, yaitu tentang kepahlawanan nenek moyangnya.

Dengan masuknya kebudayaan Hindu, maka cerita Mitos kuno ini didesak oleh epos Ramayana dan Mahabarata. Karena bentuk epos ini ceritanya sebangun dengan mitos Jawa kuno, maka Ramayanan dan mahabarata diterima dengan senang hati. Bahkan kemudian ditulis kembali oleh bangsa Indonesia dengan bahasa Jawa kuno pada abad ke IX-X sebagai Wiracarita. Kitab Mahabarata bercampur dengan mitos kuno tersebut berisi kisah dramatis yang indah dan abadi. Dalam penyajiannya mampu menggambarkan seolah-olah menampilkan karakter manusia yang nyata. Konflik-konflik antara aksi dan reaksi yang terus menerus mencari penyelesaian dengan suatu arus kebajikan dan kebijaksanaan. nafsu melawan nafsu memberi kritik kepada hidup dan kehidupan, sehingga menjadi dasar moral dan kebijaksanaan yang arif. Konflik-konflik abadi yang ada pada jiwa disusun dengan bahasa-bahasa pujangga kemudian dipentaskan dalam bentuk lakon wayang yang seolah-olah semuanya itu benar-benar dilakukan manusian.

Berabad-abad pergelaran wayang tersebut memainkan peranannya dalam kehidupan para pendukungnya. Drama tersebut telah menyajikan kata-kata mutiara bukan saja untuk persembahyangan, meditasi, pendidikan, pengetahuan, hiburan, tetapi juga menyediakan fantasi untuk nyanyian, lukisan estetis dan menyajikan imaginasi puitis untuk petuah-petuah religius yang mampu mempesona dan menggetarkan jiwa manusia yang mendengarkannya.

Wayang merupakan simbol yang menerangkan eksistensi manusia dalam hubungannya antara daya natural dengan supernatural. Hubungan antara manusia dan alam semesta, antara mahluk dan Penciptanya, antara bawah dan atas, tua dan muda, suami dan istri, ayah dan anak, guru dan murid, laki-laki dan perempuan, kiri dan kanan, Pandawa dan Kurawa dan antara sesama dengan diri pribadi.

Wayang dalam satu kotak merupakan pengejawantahan jiwa manusia. Watak yang berbeda-beda bukannya hanya digambar dalam satu figur wayang saja, akan tetapi tidak jarang dalam satu figur wayang berpadu berbagai watak manusia. Misalnya Arjuna digambarkan sebagai seorang satria bagus, gerakannya halus, lemah lembut tutur katanya, sopan santun tingkah lakunya, namun cekatan, berhati baja, pantang mundur dan selalu menang dalam perang. Arjuna mencintai dan dicintai oleh setiap wanita, setiap manusia, bahkan oleh musuh sekalipun, namun demikian ia bukanlah suatu tipe orang yang mata keranjang. Pendek kata Arjuna dianggap sebagai suatu intisari dari ringkasan dari umat manusia laki-laki yang jantan, komplit dan menjadi model manusia yang sederhana, tahu tata krama dan sopan santun, bahkan religius.

Bima, digambarkan sebagai manusia gagah, besar dan kasar, namun halus budinya. kaku laksana pikulan tetapi lemas laksana seutas tali. Ia mistikus dan mampu mengenal Dewaruci, namun ia juga seorang satria dan senapati yang tak terkalahkan, baik dalam perang kecil maupun dalam perang besar Baratayuda.

Sebelum baratayuda dimulai, terjadilah suatu dialog antara Sri Kresna dengan Arjuna yang mencerminkan suatu dialog antara "Kawula dan Gusti", atau Bhagawad Gita. Sri Kresna di sini memberi petunjuk tentang "jalan" dalam menuju ke kebahagiaan hidup di alam nanti.

Pertama, "jalan karma" atau kerja. Kedua "jalan jnana" atau ilmu pengetahuan dan ketiga, "jalan bekti" atau penyerahan. Jalan-jalan tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. jalan karma atau kerja haruslah dikerjakan dengan penuh disiplin oleh mereka yang sudah memahami tentang ajaran-ajaran kerohanian. Tak seorangpun yang tidak bekerja walaupun sesaat saja. bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, karena hidup sehari pun tidak mungkin tanpa bekerja. jalan kedua, ialah manusia dianjurkan untuk melalui jalan ilmu pengetahuan, yaitu suatu jalan terang yang bersinar dalam kesadaran manusia dalam menuju kepada Sang Terang Sejati, untuk seterusnya agar mudah dalam menuju kepenyerahan atau bakti dalam mencapai kebahagiaan sejati. Dan inilah tujuan akhir daripada hidup manusia. jadi kebahagiaan akhir dan puncak daripada hidup adalah kembali ke asal muasalnya di alam Suwung (Taya), yaitu memandang Tuhan di hari nanti.

Karena itu sebagai puncak daripada epos wayang kulit lakon mahabarata dan Baratayuda. Disini pertemuan antara baik dan buruk, antara batil dan benar. Kurawa dan pandawa, namun mereka semuanya adalah satria. Walaupun mereka saling berperang, namun sebetulnya mereka saling membutuhkan. Tak mungkin yang sati mati yang lain hidup. Betapa tidak? karena ia adalah saudara dalam satu wadah, wadah dalam jiwa manusia sendiri. Dan oleh karena itu pula maka ditulislah suatu kisah dalam Kurawasrama dimana setelah Kurawa habis "musnah terbunuh", kemudian mereka dihidupkan kembali, karena memang saling membutuhkan. Di sini lah pertunjukan dan pergelaran prinsip moral, yaitu suatu sifat toleran yang sanggup menampung, memuat, memberi, memelihara dan menghormati.

Di sini prinsip toleransi dan lapang dada yang pada hakekatnya menghendaki kerukunan, sifat bersedia memberi kesempatan serta membiarkan orang berpendapat dan berpendirian lain.

Peranan Wayang dalam Masyarakat Indonesia

Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat.

Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat local genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya.

Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara ; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis - konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.

Asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha misalnya, merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para Dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa minta bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan Ciptaning berhasil membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi Supraba dan Pusaka Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Asas Kemanusiaan.
Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat unifersil, artinya berlaku kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan.
Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan . Oleh karena itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada difihak yang salah.

Asas Persatuan
Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga.
Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.

Asas Kerakyatan / Kedaulatan rakyat.
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru.
Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.

Asas Keadilan Sosial
Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur ; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.

Sejarah Singkat Wayang

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.

Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.

Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.

Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.

Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbauini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.

Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.

Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.

Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "Gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari "Kudawanengpati"atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.

Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris.
Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.

Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: ( 1553 J / 1671 M ). Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.
Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.

Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang / Kediri.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.

Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh.
Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari.
Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .